Cerpen ini merupakan cerita yang diadaptasi dari puisi berjudul: 'Ingin Sunyi Rimba Rinjani' oleh: arsantanaya a.k.a maliksiz

Ada suara pecah yang tak benar-benar hilang meski waktu sudah jauh berjalan. Suara itu tidak datang dari gelas atau piring yang jatuh, melainkan dari dalam kepala, yang kadang memekakkan, kadang hanya berdenging pelan di antara malam dan sunyi.

Aku, Nisrina, delapan belas tahun. Dibesarkan oleh seorang perempuan yang terlalu sering menangis diam-diam dan seorang lelaki yang terlalu sering berteriak karena merasa kehilangan dunia. Ibuku pergi tanpa sempat mencium keningku. Ayahku tinggal dengan amarah yang tak pernah selesai.

Rumah kami di ujung desa Labuhan Lombok. Jauh dari kota, jauh dari orang-orang yang peduli. Jauh dari pengertian.

Setiap malam, aku mendengar suara tangisku sendiri. Sayup. Lirih. Tapi cukup untuk membuatku tak bisa tidur. Dari balik dinding kamar, suara itu menggema seperti gema di dalam gua yang gelap.

“Dari balik dinding, sayup kudengar tangis seorang gadis.
Suara lirih merintih dalam gelap, menggema dalam sunyi.”

Dan gadis itu... adalah aku.

Kadang aku berpikir: haruskah aku hancurkan nadi ini dengan pecahan beling dari cermin kecil di kamar? Haruskah aku biarkan darah keluar agar trauma ini menemukan jalan keluar dari tubuhku?

"Aku rindu sunyi. Aku mendamba harmoni."

Tapi apa yang kucari sebenarnya? Apakah benar sunyi itu bisa menyembuhkan? Ataukah ia hanya menyembunyikan luka?

Rinjani datang dalam mimpiku suatu malam. Aku melihat diriku duduk di tengah rimba, dengan dedaunan berjatuhan di pundakku. Angin menyibak rambut, dan bumi membisikkanku sesuatu: "pergilah jika dunia di sini terlalu bising."

Lalu aku pergi.

Bukan kabur, bukan lari. Tapi mencari. Karena di rumahku, semua hanya menuntutku diam. Diam dan taat. Tidak bertanya. Tidak menangis. Tidak mengeluh. Tapi bagaimana jika tubuh ini tak kuat lagi berpura-pura?

“Semuanya… Aku ada.
Lihatlah aku, anggap aku nyata, jangan biarkan aku pudar.
Aku tak bisa selamanya berpura-pura damai.”

Aku naik truk sayur, menyelinap di antara karung wortel dan tomat. Tak membawa banyak, hanya jaket tipis, sebuah buku puisi, dan kenangan yang tak bisa ditinggal di rumah. Jalan ke Sembalun panjang, tapi aku tidak peduli. Yang kupikirkan hanya satu: aku ingin tahu, apakah benar Rinjani seindah yang orang-orang katakan?

Di hari ketiga, aku tiba di lereng. Kabut turun pelan seperti tangan ibu yang dulu pernah mengelus rambutku. Di sini, suara tidak menampar. Di sini, waktu terasa lebih jujur. Tidak tergesa-gesa. Tidak menuntutku baik-baik saja.

Aku menulis. Menulis lagi seperti dulu sebelum rumah kami retak. Tulisanku bukan untuk dibaca siapa-siapa. Hanya untukku. Hanya untuk mengingat bahwa aku pernah ingin menghilang, dan Rinjani yang menahanku.

“Apakah perlu aku pergi ke rimba Rinjani?
Menyulam luka dengan bisikan angin dan nyanyian hutan.”

Tapi bahkan di tengah hening ini, pertanyaanku belum juga terjawab: "Adakah damai yang benar-benar nyata?"


Mungkin damai bukan sesuatu yang datang seperti cahaya pagi. Tapi sesuatu yang harus dicari dalam langkah. Dalam napas. Dalam perasaan bahwa meski kau sendiri, kau tetap ada. Tetap hidup.

Dan malam ini, di dalam tenda kecil yang kuyakini lebih manusiawi daripada rumahku, aku menulis:

“Lombok Timur, Maret 2025.
Aku tidak sembuh. Tapi aku bernapas.
Dan itu cukup untuk hari ini.”