Orang-orang menulis untuk macam-macam alasan. Stella menulis bukan karena ia ingin dikenal atau ingin dikenang, melainkan karena ada banyak hal yang tak tahu harus pergi ke mana kalau tidak ke halaman-halaman itu.

Hari itu langit seperti bingung ingin hujan atau sekadar menunda matahari. Stella duduk di kafe kecil yang biasa, menghitung ulang isi tasnya sebelum keberangkatan.

“Jul, kita jadi nggak sih?” tanyanya tanpa menoleh.

Juli menjawab sambil tetap menatap ponsel, “Ya jadi lah. Kamu yang panik sendiri.”

“Bukan panik,” sahut Stella, menutup resleting tasnya. “Aku cuma nggak suka kalau ada yang kelewat.”

Mereka tertawa kecil, seperti biasa. Dan seperti biasa juga, sesuatu tertinggal. Kali ini, buku bersampul kulit tua di atas meja. Sepi, diam, dan tidak tahu akan dibawa ke mana.

Perkemahan didirikan di tepi danau. Langit sudah membuka birunya, dan kabut turun seperti perasaan yang tidak disebutkan tapi terasa.

Stella, beberapa jam setelah semua terlihat tenang, merasa tidak tenang.

Ia membuka tasnya. Sekali. Dua kali. Ulang lagi. Tidak ada.

“Jul,” panggilnya pelan. “Bukuku...”

Juli menghampiri. “Yang harian itu?”

“Iya. Aku nggak lihat dari tadi. Terakhir aku... oh tidak,” Stella terdiam. Wajahnya berubah.

Baru ia akan berdiri ketika seseorang mendekat. Seorang lelaki, jaketnya berdebu ringan, matanya seperti baru selesai mengamati langit terlalu lama.

“Maaf,” katanya. “Ada yang hilang, ya?”

Juli menatapnya curiga, tapi Stella hanya mengangguk pelan.

“Buku harian?” tanya lelaki itu. “Cokelat. Ada tali ikat?”

Stella menatapnya cepat. “Kamu lihat?”

“Aku sempat duduk di kafe itu juga. Bukunya tertinggal. Aku titip ke barista. Kupikir... penting.”

Ia mengeluarkan ponsel. Sebuah foto, buram tapi cukup jelas. Stella menarik napas. Lega. Sedikit malu juga, entah kenapa.

“Terima kasih,” ucapnya.

“Ares,” katanya, memperkenalkan diri tanpa diminta. “Tenda saya di seberang danau.”

“Stella.”

Malam menggantung di antara bintang dan suara serangga. Api unggun menyala, dan Stella duduk agak jauh dari keramaian.

Ia memutar-mutar cangkir plastik di tangannya. Bukan karena dingin, tapi karena pikirannya tak tahu ke mana harus diam.

Ares datang. Diam juga.

Mereka duduk cukup dekat untuk merasa ditemani, cukup jauh untuk tidak disalahartikan.

“Buku harianmu...” katanya pelan.

“Sudah kembali,” jawab Stella.

Lalu hening. Lalu satu percakapan kecil tentang daun yang jatuh, tentang danau yang memantulkan cahaya bulan. Tentang hal-hal yang tidak penting—dan justru karena itu terasa berarti.

Saat semua orang tidur dan api mulai padam, Ares berdiri.

“Kalau kamu nulis lagi nanti... kamu bakal tulis tentang hari ini?”

Stella menatapnya. Lama. Lalu tersenyum kecil.

“Mungkin.”

Dan malam mengakhiri ceritanya seperti itu saja—tanpa janji, tanpa genggaman tangan, tanpa pelukan atau kalimat “kita.”

Tapi entah kenapa, sejak saat itu, setiap halaman yang ditulis Stella... teras

a seperti ada seseorang yang membaca diam-diam dari seberang danau.