"Yiq, tolong ambilin pulpen itu," seruku, meminta tolong agar Yiqa mengambilkan pulpenku yang jatuh ke sebelah kakinya.
Ia mengambilnya seperti biasa, karena ini bukan yang pertama kalinya pulpenku jatuh ke sana. Semuanya disengaja, agar aku bisa tetap berinteraksi dengannya walaupun tidak setiap hari.
"Ini, Den." Ia melempar pulpen itu dan kutangkap dengan mudah karena jaraknya dekat.
Aku kembali fokus memperhatikan pelajaran. Aku adalah salah satu orang berprestasi di sini, lebih tepatnya, selalu ranking 3. Menurut orang, itu lucu. Jadi, tertawakan saja aku.
Yiqa kukenal saat MOS SMP, dan aku mencintainya sejak saat itu juga. Sampai sekarang, sudah enam tahun kami berada di SMP dan SMA yang sama, dan hanya pernah terpisah kelas selama dua tahun saja.
Kau tahu aku pengecut. Aku tidak bisa mengungkapkan rasa. Caraku hanya... menjatuhkan pulpen.
Sampai dua minggu sebelum perpisahan sekolah.
Aku melakukan hal seperti biasanya, 'menjatuhkan pulpen'.
"Deni, aku bosan, Den. Kenapa tidak kamu ambil saja pulpenmu sendiri?" ujarnya tiba-tiba. "Dari kelas 7 sampai mau tamat SMA, kau terus melakukan itu. Sampai kapan?" Yiqa mulai emosional, sedangkan aku tetap menunduk, tak berani menatapnya.
Sementara itu Yiqa tetap melanjutkan perkataannya, "Sebentar lagi kita akan berpisah. Ayo katakan apa yang kamu takuti sebelum kamu menyesal." Namun aku tetap diam. Bodoh memang. Dan sejak saat itu, aku tidak pernah menjatuhkan pulpen lagi... maupun mengatakan apa yang ingin kukatakan.
Empat tahun kemudian, aku bekerja sebagai jurnalis di salah satu media terkenal, dan dari balik kaca itu, aku melihat Yiqa. Ya, itu Yiqa. Dia bersama seorang laki-laki. Siapa dia?
Jantungku berdegup kencang. Sia-sia rasaku... sedari dulu.
"Hai, Den," sapa Yiqa saat aku sedang membereskan mejaku agar cepat pergi tadi. Namun terlambat.
"Mau ke mana, Den? Kau takut denganku?"
Aku diam, dan refleks menjatuhkan pulpen yang belum kumasukkan ke tas tadi.
"Sudah kuduga, Den. Kamu belum pergi dari sini," Yiqa menunjuk ke dadanya.
Aku tersenyum pahit, sambil menunduk. "Kau tahu, Yiq, aku selalu ingin bicara… tapi mulut ini terlalu pengecut, dan tangan ini terlalu terbiasa menjatuhkan pulpen."
Yiqa tertawa kecil, ada getir di ujung suaranya. "Aku tahu. Tapi aku tidak bisa terus menunggu seseorang yang hanya bisa bicara lewat barang jatuh."
"Dia... yang tadi bersamamu..." tanyaku, pelan.
"Calon suamiku, aku merasa harus mengundang teman dekatku," jawabnya singkat, lalu menatapku lurus, "Tapi dulu aku pernah berharap, semoga orang yang menjatuhkan pulpen itu berani bicara sebelum aku menyerah."
Hening. Suara detik jam di ruang redaksi terdengar begitu nyaring.
Aku hanya bisa mengangguk. Tidak ada kalimat yang cukup untuk menebus enam tahun rasa yang diam. Tidak ada kata yang bisa mengembalikan waktu.
Yiqa melangkah pergi. Aku menatap punggungnya, lalu pelan-pelan memungut pulpen yang tadi terjatuh.
Kali ini bukan untuk berinteraksi, bukan juga untuk menarik perhatian. Aku memungutnya sebagai tanda, bahwa aku harus mulai belajar mengambil sesuatu sendiri, termasuk keberanian.
Di meja kerjaku, aku membuka laptop dan mulai mengetik artikel yang harus kukirim sebelum tengah malam. Tapi di sela-sela paragraf berita, aku menuliskan sebuah kalimat kecil yang kutaruh di pojok catatan:
"Untuk Yiqa, satu-satunya pulpen yang selalu ingin kujatuhkan, tapi tak pernah benar-benar kuungkapkan."
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak SMA, aku merasa telah menuliskan sesuatu yang jujur.
Ini lawak, saya yang tulis, kok pas baca ulang saya yang nangis.
BalasHapus