0

iklan

Home  ›  Puisi  ›  Sastra

Ketika Nama Tak Lagi Bisa Disebut: Membaca Stilistika Taufiq Ismail

Taufiq Ismail

Ada yang menahan di dada setiap kali membaca puisi “Aku Belum Bisa Menyebutmu Lagi.” Barangkali karena Taufiq Ismail tidak sedang menulis tentang cinta yang meledak-ledak, tetapi tentang cinta yang ditahan dalam kesunyian. Tentang seseorang yang berjanji, lalu memilih diam agar tidak mengkhianati sesuatu yang sudah ia ikrarkan.

Puisi ini, bagi saya pribadi, adalah bentuk kesetiaan paling lirih yang pernah ditulis dalam bahasa Indonesia. Tidak ada air mata, tidak ada ratapan, hanya baris-baris sederhana yang tenang tapi menyayat. Dan lewat pendekatan stilistika, kita bisa melihat bagaimana keindahan itu lahir bukan dari kata yang rumit, melainkan dari kesederhanaan yang terjaga.

Diksi yang Menyimpan Luka

Taufiq Ismail selalu pandai memilih kata. Kalimat pembukanya — “Ya, aku belum bisa menyebut namamu lagi” — sudah cukup untuk membuat pembaca berhenti sejenak. Ada penolakan yang lembut di sana. Kata “belum bisa” bukan sekadar ketiadaan kemampuan, melainkan bentuk pengekangan batin. Penyair tahu ia mampu menyebut nama itu, tetapi ia tidak boleh.

Diksi seperti “bara kemarau”, “daun-daun asam bermerahan”, dan “kabut bagai uban” bukan sekadar hiasan alam. Semuanya menjadi simbol perubahan, usia, dan waktu yang terus berjalan, sementara perasaan tetap tertahan di tempat yang sama.

Irama Doa dan Penahanan Diri

Bunyi dalam puisi ini juga terasa seperti napas panjang seseorang yang sedang menahan tangis. Pengulangan frasa seperti “doaku setiap kali” dan “belum bisa kusebut kini” menciptakan ritme seperti dzikir yang lirih, berulang, tapi sarat makna.

Saya merasa Taufiq Ismail tidak menulis untuk orang lain, melainkan untuk dirinya sendiri atau untuk seseorang yang pernah sangat ia jaga dalam diam. Gaya bahasanya membentuk semacam kesyahduan spiritual. Ia bukan meratap, tetapi berdoa.

Alam Sebagai Cermin Batin

Alam dalam puisi ini tidak netral. Ia hidup, ia ikut berduka. “Kabut bagai uban di atas hutan-hutan” citraan ini seperti penanda waktu yang pelan-pelan mengikis ingatan. Senja, kabut, daun yang berubah warna, semua menjadi metafora tentang cinta yang menua bersama kenangan.

Di titik ini, saya melihat betapa konsisten Taufiq Ismail menggunakan alam sebagai perpanjangan perasaan manusia. Bukan untuk memperindah suasana, tapi untuk memperdalam makna. Setiap daun dan setiap senja di puisi ini terasa seperti bagian dari jiwa penyair sendiri.

Kesetiaan Sebagai Inti Makna

Makna utama puisi ini, bagi saya, adalah tentang kesetiaan yang tidak perlu diumumkan. Ia diam, tapi teguh. Menyebut nama yang telah dilarang berarti mengkhianati janji; karena itu, penyair memilih untuk tidak mengucapkannya, meski setiap benda di alam seperti terus memanggil nama itu untuknya.

Puisi ini tidak ingin menjeritkan cinta, tetapi menunjukkan bagaimana cinta bisa tetap suci justru ketika ia disembunyikan. Di sinilah kekuatan moral Taufiq Ismail tampak jelas: kesetiaan bukan diukur dari seberapa keras kita memanggil, tetapi dari seberapa kuat kita menahan diri.

Keindahan dalam Keheningan

Membaca “Aku Belum Bisa Menyebutmu Lagi” terasa seperti berdiri di tepi senja yang pelan-pelan tenggelam. Tidak ada letupan emosi, hanya keheningan yang panjang, tetapi di sanalah justru letak keindahannya.

Dari sisi stilistika, Taufiq Ismail menata bunyi, diksi, dan citraan dengan sangat hati-hati, menciptakan harmoni antara bahasa dan makna. Ia membuktikan bahwa puisi tidak perlu berteriak untuk menyentuh. Kadang, justru yang paling sunyi adalah yang paling jujur.

Dan mungkin memang begitu cinta yang dewasa: tidak selalu harus disebut, cukup disimpan, agar tetap suci.

Teks Puisi Lengkap "Aku Belum Bisa Menyebutmu Lagi"

Ya, aku belum bisa menyebut namamu lagi
Dalam surat, buku harian dan percakapan sehari-hari
Kembali seakan sebuah janji diikrarkan
Apa lagi yang dapat kita ucapkan

Seperti dulu, namamu penuh belum bisa kusebut kini
Jauhkan daku dari kekhianatan, doaku setiap kali
Daun-daun asam mulai bermerahan dalam gugusan
Bara kemarau, lunglai dan teramat pelahan

Di atas hutan kelelawar senja beterbangan
Beratus sayap berombak-ombak ke selatan
Menyebar di atas baris-baris merah berangkat tenggelam
Dan sekian ratus senja yang kucatat jadi malam

Kabut pun bagai uban di atas hutan-hutan
Uap air tipis, merendah dari tepi-tepi
Tak sampai gerimis hanya awan berlayangan
Duh namamu penuh, yang belum bisa kusebut kini

Pada suatu hari namamu utuh akan kusebut lagi
Di titik senyap kekhianatan doaku setiap kali
Di atas baris-baris merah yang berangkat tenggelam
Sekian ribu senja kucatat jadi malam.

Posting Komentar
Menu
Share
Additional JS