Kenapa aku menggunakan Chrome


Aku sering ditanya, “Kenapa sih masih setia pakai Google Chrome? Kan katanya boros RAM, boros tenaga, boros iman.” Dan setiap kali pertanyaan itu muncul, aku cuma senyum, senyum orang yang tahu betapa ribetnya hidup tanpa browser yang satu ini.

Aku mulai pakai Chrome bukan karena dia paling ganteng. Bukan juga karena logonya mirip spinner zaman SMP. Awalnya sederhana, aku butuh browser yang bisa buka 27 tab sekaligus tanpa drama. Firefox waktu itu sempat ngambek, Edge sok jaim, dan Opera… ya, Opera masih sibuk nyari pangsa pasar.

Chrome datang dengan gaya, cepat, ringan (pada zamannya), dan bisa sinkron otomatis. Akun Google-ku terasa seperti kunci ajaib. Login di mana pun, semua riwayat, bookmark, password, bahkan tab-tab dosa masa lalu ikut pindah. Praktis sekali, meski kadang mengingatkan aku pada betapa impulsifnya aku Googling jam 3 pagi.

Ketika aku menulis, riset, atau sekadar tenggelam di YouTube “5 Menit Jadi Jenius” yang berakhir 2 jam, Chrome terasa seperti teman kerja yang gak banyak bicara tapi sigap. Ekstensi? Banyak. Terlalu banyak malah. Sampai aku merasa Chrome ini seperti kos-kosan intern mahasiswa: apa saja muat, meski kadang AC-nya panas.

Tentu saja, Chrome punya kekurangan. RAM-ku sering menangis, kipas laptop meraung seperti pesawat mau take off. Tapi entah kenapa, aku tetap kembali. Mungkin karena sudah nyaman. Mungkin karena kebiasaan. Atau mungkin karena hidup ini sudah cukup sulit, dan mengganti browser berarti menambah satu kesulitan lagi.

Jadi, kenapa aku menggunakan Chrome?
Karena di internet yang kacau ini, aku butuh sesuatu yang stabil, meski dia stabilnya pura-pura.

Dan sejauh ini, Chrome masih cukup bisa diandalkan. Tab banyak? Gas. Debug? Bisa. Streaming? Lancar. Nulis artikel seperti ini? Tinggal buka tab baru dan berdoa RAM masih lapang.

Posting Komentar

Iklan

iklan