"Eyn (baca: ein), kamu gak pulang kampung?" tanya begitu banyak orang kepadaku. Sudah sepuluh tahun aku tidak pernah pulang. Bahkan melihat sekadar foto sungai kecil di belakang rumah saja rasanya seperti membuka lembaran yang pernah kubakar sendiri. Aku sudah memutuskannya masa lalu itu kubiarkan membusuk tanpa kuberi upacara apa pun.
Tapi hidup suka iseng. Semacam hobi menghajar orang yang pura-pura kuat.
Pagi itu, ponselku bergetar. Nomor tak dikenal. Biasanya kuabaikan, tapi entah kenapa jemariku terpeleset menekan tombol hijau.
“Eyn?” suara di seberang sana serak, seperti sudah menghitung banyak kehilangan. “Ini… Amaq Siran. Tetangga lama. Mamakmu… sakit. Parah. Katanya ingin lihat kamu. Sekali saja.”
Deg. Dunia tak meledak, tapi remuk pelan seperti cangkir retak yang ditepuk sedikit.
Aku menutup telepon tanpa janji apa pun. Namun sepanjang hari, suara itu menggelinding di kepala. Tiba-tiba aku ingat lorong rumah yang bau tanah basah, ingat suara Mamak memanggil sambil marah-marah, ingat hujan pertama yang selalu kami nantikan. Dan tentu saja, ingat alasan aku kabur: sebuah pertengkaran yang meledak menjadi jurang, lalu aku melompat tanpa menengok.
Malamnya aku berdiri di depan cermin. Wajahku sudah berubah. Tapi mata itu, masih mata anak yang lari ketakutan.
“Baiklah,” gumamku. “Sekali ini saja.”
Perjalanan ke kampung rasanya seperti pulang ke mimpi buruk yang sudah kubuang. Jalanan berkelok itu masih sama hanya aku yang berbeda. Dulu aku menjejaknya dengan amarah, sekarang dengan campuran rindu dan getir yang rasanya tidak sopan diucapkan.
Begitu memasuki desa, aku hampir berhenti bernapas. Semua tampak mengecil dibanding ingatanku: rumah-rumah tua, pohon ketapang, jalan tanah yang retak. Orang-orang menoleh, mencoba menebak 'ini anak siapa?' Atau lebih tepatnya, kenapa kembali sekarang?
Rumahku berdiri di ujung paling sunyi. Pintu kayunya masih yang dulu begitu rapuh, tapi keras kepala bertahan.
Aku mengetuk. Sekali. Dua kali.
Pintu terbuka. Seorang perempuan renta menatapku. Tubuhnya mengecil, tapi mata itu… mata yang dulu membuatku merasa terlihat, sekaligus terpojok.
Mamak.
“Eyn…” suaranya lirih, seperti setengah takut aku cuma bayangan.
Aku tak siap. Semua kalimat yang sudah kususun buyar. Yang keluar hanya gumaman bodoh, “Aku pulang, Mak.”
Ia mengangkat tangannya, gemetar, menyentuh pipiku. Sentuhan itu seperti membuka tanggul yang kutahan sepuluh tahun.
“Mamak kira… kamu gak mau lihat Mamak lagi,” katanya.
Aku menggeleng cepat. “Bukan begitu. Aku cuma… takut.”
Mamak tersenyum kecil, senyum orang yang sudah berdamai dengan banyak hal. “Semua orang takut pulang kalau hatinya penuh luka. Tapi luka itu tetap duduk menunggu kamu, Nak. Tidak kemana-mana.”
Aku tertawa pendek, pahit. “Terus kenapa aku harus balik?”
“Karena satu-satunya jalan keluar,” katanya, “adalah lewat jalan pulang.”
Dan untuk pertama kali setelah sepuluh tahun, aku merasa benar-benar tiba. Di ambang pintu yang pernah kutinggalkan, aku menemukan diriku sendiri yang kecil, kotor, tapi akhirnya berani menatap bayangannya.
Kadang pulang bukan tentang rumah. Kadang pulang adalah tentang memaafkan seseorang yang paling sulit "diri sendiri."


Posting Komentar