Epilog Sejarah yang Belum Selesai: Soeharto dan Lencana Pahlawan Nasional

Soeharto

Keputusan Pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto, bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 2025, telah menutup satu babak perdebatan, namun justru membuka lembaran polemik baru. Pengangkatan ini, yang diklaim sebagai pengakuan atas jasa-jasa militer dan pembangunan, bagi banyak kalangan, khususnya korban dan pegiat HAM, adalah sebuah paradoks moral dan pukulan telak bagi keadilan sejarah.

Ini bukan sekadar administrasi negara, melainkan tindakan politik yang menetapkan narasi masa lalu: apakah sebuah bangsa memilih untuk merayakan pencapaian di atas fondasi represi, ataukah ia berani menyebut kejahatan sebagai kejahatan?

1. Mendekonstruksi "Jasa" di Tengah Keputusan Politik

Argumen pro-pahlawan yang diutarakan pemerintah dan pendukung umumnya bersandar pada jasa militer (seperti Serangan Umum 1 Maret 1949 dan pembebasan Irian Barat) serta keberhasilan pembangunan di awal Orde Baru. Namun, sebagai kaum muda yang berpikir kritis, kita wajib membongkar narasi ini lebih dalam.

  • Ilusi Stabilitas dan Pertumbuhan: Memang, Orde Baru membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Namun, "stabilitas" itu dicapai melalui tangan besi, oposisi dibungkam, pers dikontrol, dan partisipasi politik dimatikan. Pertumbuhan ekonomi pun adalah pertumbuhan yang ditopang utang luar negeri dan dikendalikan oleh Cendana serta kroni (KKN), yang dampaknya masih terasa.

  • Jasa Programatik vs. Dosa Politik: Program seperti Wajib Belajar dan swasembada pangan adalah pencapaian teknokratis yang sejatinya kewajiban dasar negara. Pemberian gelar tertinggi tidak seharusnya didasarkan pada pemenuhan kewajiban, apalagi jika ia dilakukan paralel dengan pelanggaran HAM. Pendidikan di era itu pun lebih banyak mengabdi pada indoktrinasi ketimbang pembebasan berpikir.

  • Memilah Peran Militer: Kontribusi militer Soeharto di masa kemerdekaan adalah fakta sejarah. Namun, bisakah peran di satu babak menghapus noda di babak-babak berikutnya? Peran militer di masa kekuasaan Orde Baru (Timor Timur, DOM Aceh/Papua, Peristiwa 27 Juli, Penculikan Aktivis) adalah noda yang tak terhapuskan pada institusi yang ia pimpin untuk melanggengkan kekuasaan otoriter.

Dari kacamata kritis, "jasa" yang diakui negara adalah produk sampingan dari sebuah rezim yang berfokus pada konsolidasi kekuasaan absolut, bukan pengabdian tulus untuk kedaulatan moral bangsa.

2. Pukulan Keadilan: Dosa Sejarah Orde Baru yang Belum Tuntas

Di sisi lain neraca, beban sejarah yang tak bisa dinegasikan justru semakin berat dengan adanya gelar Pahlawan Nasional. Penolakan terhadap gelar ini adalah tuntutan atas keadilan yang fundamental, bukan kebencian personal.

  • Pelanggaran HAM Berat: Ini adalah inti masalah. Tragedi 1965–1966 yang menjadi fondasi rezimnya, Peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, Petrus (Penembakan Misterius), hingga penghilangan paksa aktivis 1997/1998. Jutaan korban dan keluarga mereka tidak pernah mendapatkan pengakuan dan pemulihan. Memberikan gelar pahlawan adalah menginjak-injak memori dan penderitaan mereka.

  • Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN): Undang-Undang No. 20 Tahun 2009 jelas mensyaratkan seorang pahlawan "tidak pernah melakukan perbuatan tercela". KKN skala besar di masa Orde Baru adalah pengkhianatan terhadap nilai perjuangan itu sendiri. Sebuah studi bahkan menempatkan Soeharto sebagai pemimpin paling korup dalam sejarah modern.

  • Pemberangusan Demokrasi: Soeharto secara sistematis menghancurkan kehidupan politik, membungkam pers, dan menciptakan generasi yang takut berbicara. Nilai keteladanan seorang pahlawan seharusnya selaras dengan cita-cita demokrasi dan kemanusiaan, bukan antitesisnya.

3. Implikasi Keputusan 10 November 2025: Legitimasi Impunitas

Keputusan pengangkatan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional pada 10 November 2025 adalah tindakan politik dengan implikasi serius yang mendasar:

A. Politik Impunitas dan Pembilasan Sejarah

Keputusan ini mengirimkan sinyal berbahaya: bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dan korupsi besar-besaran di masa lalu bisa "dimaafkan" atau "dilupakan" demi "jasa" pembangunan. Ini adalah politik impunitas, yang memberi kekebalan hukum dan moral kepada pelaku kejahatan.

B. Amnesia Historis yang Dipaksakan

Generasi mendatang, termasuk kita, akan membaca buku sejarah dan melihat Soeharto sebagai "Pahlawan Nasional". Catatan kaki tentang represi dan KKN akan dianggap sekunder. Negara secara sadar memilih untuk melupakan trauma kolektif bangsa ini, menggeser narasi dari perjuangan keadilan menjadi perayaan otoritarianisme.

C. Pembungkaman Korban

Bagi keluarga korban, gelar ini adalah penutupan buku secara paksa. Negara, yang seharusnya memulihkan hak-hak mereka, justru memberi penghormatan tertinggi kepada figur yang memiliki tanggung jawab sejarah atas penderitaan mereka. Ini adalah bentuk ketidakadilan institusional.

Kesimpulannya, tokoh besar memang kompleks. Namun, kompleksitas tidak boleh menjadi alasan untuk menormalisasi kejahatan. Gelar "pahlawan" menyiratkan keteladanan (moralitas) dan pengorbanan (altruisme). Soeharto mungkin seorang "pembangun", tetapi ia melakukannya dengan biaya kemanusiaan yang teramat mahal.

Pada akhirnya, pertanyaan kuncinya sederhana: Teladan apa yang ingin kita wariskan kepada generasi mendatang? Apakah teladan bahwa tujuan (pembangunan) menghalalkan segala cara (represi)?

Jika kita masih memegang teguh kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan, maka keputusan pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional adalah sebuah kemunduran moral dalam perjalanan bangsa. Sejarah yang utuh bukanlah sejarah yang menyeimbangkan jasa dan dosa, melainkan sejarah yang berani menyebut kejahatan sebagai kejahatan dan menempatkan keadilan bagi korban di posisi tertinggi.

About the author

Malik Sani Ibnu Zahir
Seorang pecinta malam, buku, kopi dan kamu (Na)

Post a Comment