Kata orang, hidup di desa itu tenang, jauh dari hiruk pikuk kota. Tapi mereka itu jelas belum pernah hidup di kampungku. Di sini, jangankan tenang, tidur saja kadang harus gantian dengan tikus di dapur. Aku tahu, karena aku anak petani paling miskin di Dusun Harapan, dan siapa lagi kalau bukan aku yang paling tahu cara pura-pura kenyang tiap malam?
Namaku Rijal. Aku kelas dua SMP, katanya sih termasuk yang pintar di kelas. Tapi ya pintar-pintarnya orang miskin, tetap saja kalah sama yang bisa bayar spp. Guruku pernah bilang kalau usaha tidak akan mengkhianati hasil, padahal aku tahu benar—hasil itu sering kali hanya datang ke mereka yang punya modal.
Setiap pagi, aku bangun sebelum ayam sempat bermimpi. Bukan buat belajar, tapi buat bantu Bapak ke sawah. Sawah kami cuma sepetak, itu pun sewaan. Kalau musim hujan, padi bisa tumbuh, tapi kalau kemarau datang, kami lebih mirip tukang siram harapan daripada petani.
Orang bilang jadi petani itu mulia. Aku sih setuju, tapi perut ini nggak bisa kenyang cuma karena rasa hormat. Kadang kami cuma makan nasi putih dan garam. Pernah sekali dapat kiriman mie instan dari tetangga, aku merasa seperti bangsawan. Ya, memang, orang miskin itu gampang bahagia. Gampang juga sakitnya.
Di sekolah, aku paling jago pura-pura nggak malu. Sepatuku bolong di ujung, jadi aku jalan agak mundur biar nggak kelihatan. Kalau disuruh bawa LKS, aku jawab belum beli, padahal uang belinya saja nggak ada. Aku tahu, orang-orang kasihan padaku, tapi mereka juga sibuk dengan hidupnya sendiri. Dan orang miskin itu dilarang ngerepotin.
Pernah satu kali aku nangis diam-diam, waktu Bapak jatuh pingsan di sawah karena belum makan. Tapi aku langsung sadar. Anak petani itu harus kuat. Menangis cuma bikin mata bengkak, bukan bikin perut kenyang.
Kadang aku berpikir, mungkin Tuhan sedang ngasih ujian level tinggi ke kami, makanya hidup kami ini keras. Tapi aku juga curiga, jangan-jangan kami ini cuma korban sistem yang dirancang buat bikin si kaya makin kaya, dan si miskin disuruh kuat terus-terusan. Tapi ya sudahlah, aku cuma anak petani, mana berani sok ngerti politik?
Sekarang aku sedang duduk di pinggir pematang, menatap langit sore yang merah. Katanya warna merah itu indah. Tapi buatku, itu artinya sebentar lagi malam datang, dan aku harus pulang dengan tangan kosong. Lagi-lagi hari ini gagal panen.
Aku tertawa sendiri. Mungkin memang betul. Orang miskin itu dilarang menangis. Tapi kalau ketawa—ya, boleh lah. Walau kadang yang ditertawakan ya diri sendiri.