Suara peluit memekakkan telinga, mengiringi suara dentuman drum yang dimainkan dengan penuh semangat. Ratusan mahasiswa berkumpul di lapangan kampus, dengan mengenakan jaket almamater mereka, sambil membawa spanduk dengan tulisan tegas: "Kembalikan lagi Hak Mahasiswa!"

"Kawan-kawan! Hari ini kita berdiri di sini bukan untuk main-main!" teriak Dani, sang ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, dari atas mobil komando. "Fasilitas minim, ruang belajar tidak layak, tapi uang SPP terus naik! Sampai kapan kita diam?"

"Sampai kapannnn!" sahut massa serempak.

"Kita sudah menyampaikan aspirasi lewat audiensi! Kita sudah berkirim surat! Tapi apa balasan dari pihak rektorat? Hanya janji-janji kosong!" lanjut Dani, suaranya bergetar penuh emosi.

Di tengah kerumunan, Nita menggenggam megafon erat. "Aku nggak nyangka antusiasme mahasiswa sebesar ini," bisiknya pada Dika di sebelahnya.

"Ini masalah perut, Nit. Kalau uang SPP terus naik, nggak semua orang bisa bertahan kuliah di sini," jawab Dika sambil mengibarkan spanduk bertuliskan "Rektor Harus Turun!"

Tiba-tiba, pintu utama gedung rektorat terbuka. Rektor bersama beberapa staf kampus keluar, diiringi petugas keamanan. Suasana menjadi sangat tegang. Massa kemudian mendekat, meneriakkan yel-yel lebih keras.

"Rektor keluar! Rektor keluar!"

Rektor, seorang pria paruh baya dengan jas hitam rapi, mengangkat tangannya, mencoba menenangkan kerumunan. "Mahasiswa sekalian, kami mendengar aspirasi kalian. Tapi tolong, mari kita bicarakan ini dengan kepala dingin."

"Kepala dingin?" Nita tiba-tiba maju, megafonnya menggelegar. "Kami sudah bicara baik-baik di audiensi sebelumnya, Pak! Tapi mana hasilnya? Ruang kelas masih bocor, internet sering mati, dan fasilitas laboratorium usang! Apa itu sebanding dengan uang SPP yang naik tiap semester?"

Sorak sorai mahasiswa mendukungnya. Rektor tampak tergagap, tapi berusaha mempertahankan senyum diplomatis.

"Kalian harus mengerti bahwa pengelolaan kampus ini membutuhkan biaya besar. Uang SPP digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan," katanya.

"Mana buktinya, Pak?" Dani mengambil alih. "Kami belajar di ruangan tanpa AC, buku-buku di perpustakaan sudah kuno, dan mahasiswa jurusan teknik harus patungan beli alat praktikum. Apakah ini yang disebut meningkatkan kualitas?"

Massa kembali bersorak. Beberapa mahasiswa mulai mengetuk-ngetukkan tongkat bendera ke tanah, menciptakan bunyi ritmis yang menambah ketegangan.

"Kalau tuntutan kami tidak dipenuhi," lanjut Dani dengan suara lantang, "kami akan terus berdemo. Kami akan turun ke jalan!"

Rektor menarik napas panjang. "Baik, mari kita adakan pertemuan formal lagi. Berikan kami waktu dua minggu untuk mengevaluasi..."

"Dua minggu?" seru Nita dengan sinis. "Pak, mahasiswa di sini sudah lelah menunggu janji kosong. Kalau tidak ada keputusan konkret hari ini, kami akan membawa isu ini ke media nasional!"

Kata-kata Nita disambut tepuk tangan riuh. Beberapa kamera wartawan yang hadir mulai merekam lebih intens. Rektor tampak berkeringat, sesekali melirik stafnya yang tampak gelisah.

"Baiklah," akhirnya ia berkata dengan suara berat. "Besok pagi, kami akan mengadakan rapat terbuka dengan perwakilan mahasiswa. Semua detail anggaran dan alokasi akan kami paparkan. Apakah itu cukup?"

Dani dan Nita saling pandang. "Besok pagi," ulang Dani, menekankan kata-katanya. "Dan kami ingin semua mahasiswa diundang untuk melihat transparansi itu. Tidak ada yang disembunyikan."

"Kami setuju," jawab rektor singkat, sebelum berbalik masuk ke gedung bersama stafnya.

Massa bersorak, meski tetap waspada. "Ini belum selesai," bisik Nita pada Dika. "Besok kita lihat apakah mereka benar-benar serius."

"Setidaknya hari ini kita sudah memaksa mereka keluar," balas Dika sambil tersenyum tipis. "Ini langkah awal."

Suara peluit kembali terdengar, mengiringi massa yang perlahan bubar. Tapi semangat mereka tetap membara. Besok, mereka akan memastikan kebenaran berdiri di pihak mahasiswa.