Pagi itu suasana SMA Indonesia Emas lebih ramai dari biasanya. Bukan karena ada lomba atau acara khusus, melainkan karena kedatangan guru baru. Bu Clara, seorang wanita muda, cantik, dengan senyum yang selalu merekah seperti bunga di musim semi, sukses mencuri perhatian siswa-siswi. Khususnya siswa kelas XI.
"Lihat deh, cantiknya! Kayak artis drama Korea," bisik Budi kepada Anton di bangku belakang.
"Iya! Kalau dia yang ngajar matematika, aku nggak bakal ngantuk lagi," tambah Anton sambil tersipu-sipu.
Di sisi lain, para siswi juga tak mau kalah heboh. Tapi bukan karena kagum, melainkan karena cemburu.
"Ah, nih guru baru bikin para cowok jadi nggak fokus," gerutu Tika. "Tadi aku ngajak Budi diskusi soal tugas, malah dia sibuk ngeliatin Bu Clara."
"Iya, gue juga. Anton sampai lupa pinjemin pulpen gue," keluh Dina.
Hari itu, pelajaran Bu Clara di kelas XI IPA 2 menjadi ajang persaingan. Budi, yang biasanya duduk di belakang, tiba-tiba pindah ke bangku depan. Anton tak mau kalah, langsung mengambil posisi di samping Budi.
"Bu Clara, kalau rumus ini diaplikasikan ke soal nomor tiga, jawabannya apa ya?" tanya Budi, dengan nada suara dibuat sehalus mungkin.
Bu Clara tersenyum. "Kamu coba dulu, nanti ibu bantu kalau ada yang salah."
Anton langsung menyahut. "Bu, saya juga nggak ngerti soal nomor empat. Boleh minta penjelasannya lebih detail?"
Bu Clara mengangguk. "Oke, nanti ibu jelaskan ke seluruh kelas."
Sementara itu, dari bangku belakang, Tika dan Dina mengamati dengan raut wajah sebal.
"Lihat tuh, mereka sok pintar biar diperhatiin Bu Clara," bisik Tika.
"Kita harus bikin rencana biar mereka sadar diri. Nggak bisa dibiarkan!" sahut Dina penuh semangat.
Keesokan harinya, rencana mereka mulai berjalan. Tika membawa sekotak cokelat besar ke kelas. Saat Bu Clara masuk, ia pura-pura berdiri.
"Bu, ini hadiah kecil dari kami karena ibu guru yang sangat inspiratif!" katanya keras, memastikan semua orang mendengar.
Bu Clara tampak kaget. "Oh, terima kasih, Tika. Tapi lain kali jangan repot-repot seperti ini."
Budi dan Anton saling pandang. Mereka merasa kalah langkah.
"Kita harus balas, Bud," bisik Anton.
Bel masuk pelajaran berikutnya berbunyi. Saat Bu Clara keluar kelas, Budi dan Anton bergegas mengikuti.
"Bu Clara! Kami punya sedikit hadiah juga," kata Budi sambil menyerahkan sebuah tas kecil berisi syal yang mereka beli bersama.
Bu Clara menerima dengan senyum canggung. "Wah, terima kasih. Tapi kalian tidak perlu seperti ini, ya. Fokus saja belajar."
Namun persaingan tidak berhenti sampai di situ. Hari-hari berikutnya, setiap pelajaran Bu Clara selalu diwarnai berbagai aksi siswa-siswi yang berusaha menarik perhatiannya. Dari membawa makanan favorit, menggambar karikatur wajah Bu Clara, hingga mengarang puisi yang dibacakan di depan kelas.
Suatu hari, Anton membawa gitar ke kelas dan langsung mendekati Bu Clara saat jam istirahat. "Bu Clara, saya bikin lagu khusus buat ibu. Dengerin, ya!" katanya penuh percaya diri.
Namun saat mulai bermain gitar, salah satu senar putus dan mencambuk wajah Anton. Sontak seluruh kelas tertawa terbahak-bahak, termasuk Bu Clara yang berusaha menahan tawa sambil menutup mulutnya.
Di hari lain, Budi membawa sekeranjang buah untuk Bu Clara. "Bu, ini vitamin biar ibu nggak sakit," katanya penuh gaya. Tapi langkahnya terlalu terburu-buru hingga keranjang buah itu terjatuh, membuat apel-apel berhamburan ke lantai. Salah satu apel menggelinding ke kaki Dina, yang tanpa sengaja menginjaknya dan terpeleset. Dina jatuh dengan posisi lucu, sementara seisi kelas kembali tertawa terbahak-bahak.
Tidak hanya mereka, Tika dan Dina pun ikut berulah. Mereka berencana memberikan puisi khusus untuk Bu Clara. Namun saat Tika membaca puisi itu di depan kelas, Dina tanpa sengaja menjatuhkan tinta ke bajunya sendiri. Dina panik dan malah menumpahkan gelas air di meja. Suasana kelas menjadi kacau, sementara Bu Clara hanya bisa geleng-geleng kepala.
Ada pula kejadian ketika Anton memutuskan membawa kue tart untuk Bu Clara. Tapi sial, kue itu tanpa sengaja ia letakkan di kursi Bu Clara. Ketika Bu Clara hendak duduk, "BLUUSH," ia hampir terduduk di atas kue itu jika tidak segera tersadar. Kelas langsung meledak tawa, sementara Anton meringis sambil berusaha menjelaskan.
Hingga akhirnya, suatu hari Bu Clara mengumpulkan seluruh siswa kelas XI IPA 2 setelah jam pelajaran selesai.
"Anak-anak, ibu merasa perlu bicara. Ibu sangat menghargai perhatian kalian, tapi ibu ingin kalian fokus pada tujuan utama kalian di sekolah, yaitu belajar," katanya dengan nada serius namun lembut.
Kelas hening. Budi dan Anton mulai merasa malu. Begitu juga Tika dan Dina.
Bu Clara melanjutkan, "Dan satu hal lagi. Mungkin kalian belum tahu, tapi ibu sebenarnya sudah punya pasangan yang sangat lucu dan menggemaskan."
"Pasangan lucu? Apa?!" seru seluruh kelas serempak.
"Iya, ibu punya... seekor kucing Persia bernama Mochi. Dan ibu sangat menyayanginya," kata Bu Clara sambil tertawa kecil. "Jadi, ibu tidak sedang mencari pasangan lain, ya."
Seisi kelas langsung terdiam, lalu meledak tertawa. Tika menepuk bahu Dina, "Pantesannn, kita kalah sama kucing!"
Budi dan Anton hanya bisa tertunduk malu, sementara Tika dan Dina saling cekikikan.
"Setidaknya sekarang mereka nggak rebutan lagi," bisik Tika pada Dina.
"Iya. Tapi tetap kasihan si Bu Clara. Jadi korban cinta SMA," balas Dina sambil terkekeh.
Dan begitulah, sejak hari itu, tak ada lagi puisi, cokelat, atau syal untuk Bu Clara. Tapi bisik-bisik kecil soal "guru cantik yang punya kucing lucu" masih sering terdengar di lorong-lorong sekolah.