Dalam tradisi Islam, istilah mud dan sha’ merupakan satuan takaran klasik yang memiliki kedudukan penting, terutama dalam praktik ibadah seperti zakat fitrah, kafarat, dan thaharah. Dua satuan ini telah digunakan sejak masa Rasulullah ﷺ dan menjadi standar dalam berbagai hukum fikih, khususnya dalam konteks pengukuran bahan makanan pokok.
Namun, seiring perkembangan zaman dan peralihan dari sistem takaran tradisional ke sistem metrik modern, para ulama berupaya melakukan konversi agar pemahaman terhadap satuan ini tetap relevan dan dapat diaplikasikan secara tepat dalam konteks kehidupan kontemporer.
Salah satu ulama kontemporer terkemuka, Dr. Wahbah Az-Zuhaili, dalam karyanya Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu (jilid 1, halaman 143), menjelaskan bahwa satu mud apabila diukur dengan satuan masa kini, setara dengan kurang lebih 675 gram atau dalam bentuk volume berkisar 0,688 liter. Sedangkan satu sha’, yang merupakan empat kali ukuran mud, memiliki berat sekitar 2.176 gram atau 2,75 liter bila dikonversi ke dalam ukuran volume cairan.
Perlu dicatat bahwa variasi kecil dalam takaran ini bisa terjadi tergantung pada jenis bahan yang ditakar, seperti gandum, kurma, atau beras, karena setiap bahan memiliki densitas yang berbeda. Oleh karena itu, penyesuaian takaran dalam praktik ibadah sering kali dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi lokal dan kebiasaan setempat, tanpa keluar dari batasan-batasan syar’i.
Dengan memahami ukuran mud dan sha’ dalam konteks modern, umat Islam diharapkan dapat melaksanakan ibadah yang memerlukan takaran dengan lebih presisi dan kesesuaian, sekaligus tetap menjaga warisan klasik dari syariat Islam.